Sahabat Seiman :)

Khamis, 28 April 2011

HUJAN DALAM SYARIAT ISLAM

\Alhamdulillah, hari-hari belakangan ini Doha-Qatar dikaruniai nikmat yang jarang dijumpai, hujan. Nikmat yang sering terabaikan, terutama bagi rekan-rekan kita di Indonesia yang karena seringnya mendapat hujan terkadang keluar umpatan yang menyelisihi syariat. Bagaimana sebenarnya syariat Islam memandang nikmat hujan ini?


Berikut kumpulan beberapa artikel yang berkaitan dengan hujan sebagai bahan muhasabah bagi kita:


Dari Zaid bin Khalid Al-Juhaini radhiallahu anhu dia berkata:


[LARGE][B]صَلَّى لَنَا رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ  صَلَاةَ الصُّبْحِ بِالْحُدَيْبِيَةِ عَلَى إِثْرِ سَمَاءٍ كَانَتْ مِنْ  اللَّيْلَةِ فَلَمَّا انْصَرَفَ أَقْبَلَ عَلَى النَّاسِ فَقَالَ هَلْ  تَدْرُونَ مَاذَا قَالَ رَبُّكُمْ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ  قَالَ أَصْبَحَ مِنْ عِبَادِي مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ فَأَمَّا مَنْ قَالَ  مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللَّهِ وَرَحْمَتِهِ فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِي وَكَافِرٌ  بِالْكَوْكَبِ وَأَمَّا مَنْ قَالَ بِنَوْءِ كَذَا وَكَذَا فَذَلِكَ  كَافِرٌ بِي وَمُؤْمِنٌ بِالْكَوْكَبِ[/B][/LARGE]


[I]“Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memimpin kami shalat subuh  di Hudaibiah di atas bekas-bekas hujan yang turun pada malam harinya.  Setelah selesai shalat, beliau menghadapkan wajahnya kepada orang banyak  lalu bersabda, “Tahukah kalian apa yang sudah difirmankan oleh Rabb  kalian?” mereka menjawab, “Allah dan Rasul-Nya lebih mengetahui.” Beliau  bersabda: “(Allah berfirman), “Subuh hari ini ada hamba-hambaKu yang  beriman kepada-Ku dan ada yang kafir. Siapa yang berkata, “Hujan turun  kepada kita karena karunia Allah dan rahmat-Nya,” maka dia adalah yang  beriman kepada-Ku dan kafir kepada bintang-bintang. Adapun yang berkata,  “(Hujan turun disebabkan) bintang ini atau itu,” maka dia telah kafir  kepada-Ku dan beriman kepada bintang-bintang.”[/I] (HR. Al-Bukhari no. 1038)


Dari Aisyah radhiallahu anha dia berkata:


[LARGE][B]أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا رَأَى الْمَطَرَ قَالَ اللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا[/B]
[/LARGE]


[I]“Jika Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam melihat hujan, maka  beliau berdoa, “ALLAHUMMA SHAYYIBAN NAAFI’AN (Ya Allah, turunkanlah  kepada kami hujan yang deras lagi bermanfaat).”[/I] (HR. Al-Bukhari no. 1032)


Dari Abdullah bin Umar radhiallahu anhuma dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


[LARGE][B]مِفْتَاحُ الْغَيْبِ خَمْسٌ لَا يَعْلَمُهَا إِلَّا اللَّهُ لَا  يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ فِي غَدٍ وَلَا يَعْلَمُ أَحَدٌ مَا يَكُونُ  فِي الْأَرْحَامِ وَلَا تَعْلَمُ نَفْسٌ مَاذَا تَكْسِبُ غَدًا وَمَا  تَدْرِي نَفْسٌ بِأَيِّ أَرْضٍ تَمُوتُ وَمَا يَدْرِي أَحَدٌ مَتَى يَجِيءُ  الْمَطَرُ[/B]
[/LARGE]


[I]“Ada lima kunci ghaib yang tidak diketahui seorangpun kecuali Allah:  Tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang akan terjadi esok hari,  tidak ada seorangpun yang mengetahui apa yang terdapat dalam rahim,  tidak ada satu jiwapun yang tahu apa yang akan diperbuatnya esok, tidak  ada satu jiwapun yang tahu di bumi mana dia akan mati, dan tidak ada  seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan.”[/I] (HR. Al-Bukhari no. 1039)


[B]Penjelasan ringkas:[/B]
Hujan adalah nikmat dan anugerah dari Allah yang dengannya Dia  memberikan keutamaan kepada siapa yang Dia kehendaki di antara  hamba-hambaNya. Allah Ta’ala berfirman:


[LARGE][B]وأنزل من السماء ماءً فأخرج به من الثمرات رزقاً لكم[/B]
[/LARGE]


[I]“Dan Dia menurunkan air (hujan) dari langit, lalu Dia menumbuhkan  dengan hujan itu segala buah-buahan sebagai rezki untuk kalian.”[/I] (QS. Al-Baqarah: 22)


Dan juga pada firman-Nya:


[LARGE][B]وهو الذي ينزل الغيث من بعد ما قنطوا وينشر رحمته[/B][/LARGE]


[I]“Dan Dialah Yang menurunkan hujan sesudah mereka berputus asa dan Dia menyebarkan rahmat-Nya.”[/I] (QS. Asy-Syuraa: 28)


Di antara manfaat turunnya hujan adalah:
[B]1. Sebab adanya rezki[/B].Sebagaimana yang Allah Ta’ala sebutkan dalam surah Al-Baqarah di atas.
[B]2. Hidupnya bumi. [/B]
Allah Ta’ala berfirman:


[LARGE][B]وما أنزل الله من السماء من ماء فأحيا به الأرض بعد موتها[/B][/LARGE]


[I]“Dan apa yang Allah turunkan dari langit berupa air, lalu dengan air itu Dia hidupkan bumi sesudah mati (kering)-nya.”[/I] (QS. Al-Baqarah: 164)


[B]3.    Sebagai penyuci dalam thaharah.[/B]
Allah Ta’ala berfirman:


[LARGE][B]وينزل عليكم من السماء ماء ليطهركم به[/B]
[/LARGE]


[I]“Dan Dia menurunkan kepada kalian hujan dari langit untuk mensucikan kalian dengan hujan itu.”[/I] (QS. Al-Anfal: 11)


[B]4.    Untuk dikonsumsi oleh makhluk hidup di bumi.[/B]
Allah Ta’ala berfirman:


[LARGE][B]هو الذي أنزل من السماء ماءً لكم منه شرابٌ ومنه شجرٌ فيه تُسيمون[/B][/LARGE]


[I]“Dialah Yang telah menurunkan air hujan dari langit untuk kalian,  sebagiannya menjadi minuman dan sebagiannya (menyuburkan)  tumbuh-tumbuhan, yang pada (tempat tumbuhnya) kalian mengembalakan  ternak kalian.” [/I](QS. An-Nahl: 10)


Karenanya, menyandarkan sebab turunnya hujan kepada selain Allah –  baik itu kepada bintang tertentu atau kepada masuknya bulan tertentu  atau kepada selain-Nya – merupakan perbuatan mengkafiri nikmat dan  merupakan perbuatan kesyirikan kepada Allah Ta’ala. Karenanya, sudah  sepantasnya manusia menyandarkan turunnya hujan itu hanya kepada Allah,  karena tidak ada seorangpun yang mengetahui kapan turunnya hujan kecuali  Allah semata. Adapun bintang-bintang atau masuknya bulan tertentu maka  itu hanyalah sekedar waktu dimana Allah Ta’ala menurunkan  nikmat-nikmatNya kepada para hamba pada waktu tersebut, mereka bukanlah  sebagai sebab apalagi jika dikatakan mereka yang menurunkan hujan.


Imam Asy-Syafi’i berkata dalam Al-Umm mengomentari hadits Zaid bin  Khalid di atas, “Barangsiapa yang mengatakan ‘hujan diturunkan kepada  kita karena bintang ini dan itu’ -sebagaimana kebiasaan pelaku syirik-  dimana mereka memaksudkan menyandarkan sebab turunnya hujan kepada  bintang tertentu, maka itu adalah kekafiran sebagaimana yang Rasulullah  shallallahu alaihi wasallam sabdakan. Karena munculnya bintang (atau  bulan, pent.) adalah waktu, sementara waktu adalah makhluk yang tidak  memiliki apa-apa untuk dirinya dan selainnya. Dan siapa yang mengatakan  ‘hujan diturunkan kepada kita karena bintang ini’ dalam artian ‘hujan  diturunkan kepada kita ketika munculnya bintang ini’, maka ucapan ini  bukanlah kekafiran, akan tetapi ucapan selainnya lebih saya senangi.”


Tatkala turunnya hujan terkadang bisa membawa manfaat dan terkadang  bisa mendatangkan mudharat, maka Nabi shallallahu alaihi wasallam  mengajari umatnya agar meminta kepada Allah hujan yang mendatangkan  manfaat setiap kali hujan turun. Di antara keterangan yang menunjukkan  bahwa hujan terkadang membawa bencana dan siksaan adalah firman Allah  Ta’ala:


[LARGE][B]فكلاً أخذنا بذنبه فمنهم من أرسلنا عليه حاصباً ومنهم من أخذته الصيحة ومنهم من خسفنا به الأرض ومنهم من أغرقنا[/B]
[/LARGE]


[I]“Maka masing-masing (mereka itu) Kami siksa disebabkan dosanya, maka  di antara mereka ada yang Kami timpakan kepadanya hujan batu kerikil  dan di antara mereka ada yang ditimpa suara keras yang mengguntur, dan  di antara mereka ada yang Kami benamkan ke dalam bumi, dan di antara  mereka ada yang Kami tenggelamkan.”[/I] (QS. Al-Ankabut: 40)


Juga pada firman-Nya:


[LARGE][B]فأعرضوا فأرسلنا عليهم سيل العرم[/B]
[/LARGE]


[I]“Tetapi mereka berpaling, maka Kami datangkan kepada mereka banjir yang besar.” [/I](QS. Saba`: 16)


Waktu turunnya hujan termasuk perkara ghaib yang hanya diketahui oleh  Allah semata. Karenanya, barangsiapa yang mengklaim mengetahui waktu  turunnya hujan atau mengklaim bisa menurunkan hujan atau mengklaim bisa  menahan turunnya hujan (pawang hujan) maka dia telah terjatuh ke dalam  kekafiran dan kesyirikan berdasarkan dalil-dalil yang sangat banyak yang  menjelaskan kafirnya makhluk yang mengklaim mengetahui perkara ghaib.


[B]Sebab-sebab umum turunnya hujan:[/B]


[B]1.    Ketakwaan kepada Allah.[/B]
Allah Ta’ala berfirman:


[LARGE][B]ولو أن أهل القرى آمنوا واتقوا لفتحنا عليهم بركات من السماء والأرض[/B]
[/LARGE]


[I]“Jikalau sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa,  pastilah Kami akan melimpahkan kepada mereka berkah dari langit dan  bumi.”[/I] (QS. Al-A’raf: 96)


[B]2.    Istighfar dan taubat dari dosa-dosa.[/B]
Allah Ta’ala berfirman tentang Nabi Nuh bahwa beliau berkata:


[LARGE][B]فقلت استغفروا ربكم إنه كان غفاراً. يرسل السماء عليكم مدراراً[/B][/LARGE]


[I]“Maka aku katakan kepada mereka, “Mohonlah ampun kepada Rabb kalian,  sesungguhnya Dia adalah Maha Pengampun. Niscaya Dia akan mengirimkan  hujan kepada kalian dengan lebat.”[/I] (QS. Nuh: 10-11)


[B]3.    Istiqamah di atas syariat Allah.[/B]
Allah Ta’ala mengabarkan:


[LARGE][B]وألّوِ استقاموا على الطريقة لأسقيناهم ماءًً غدقاً[/B][/LARGE]


[I]“Dan bahwasanya: Jikalau mereka tetap berjalan lurus di atas jalan  itu (agama Islam), benar-benar Kami akan memberi minum kepada mereka air  yang segar.” [/I](QS. Al-Jin: 16)


[B]4.    Istisqa`, baik sekedar berdoa maupun diiringi dengan shalat.[/B]


Artikel: [I]al-atsariyyah.com[/I]


[LARGE]5 Faedah Menawan Seputar Hujan[/LARGE]


[B]1. [/B][B]Meski Doanya Minta Hujan dikabulkan, tidak belajar kepadanya[/B]


Ilmu agama adalah perkara yang dapat menentukan keadaan selamatnya seseorang di dunia dan akhirat.


Oleh karena itu, dalam memilih guru, pengajar, ustadz dan syaikh  harus berhati-hati dan waspada dengan teliti. Jangan sampai keliru  belajar kepada orang yang sesat atau tidak memiliki keahlian masalah  ilmu agama, meskipun dia adalah orang yang shalih dan banyak beribadah.  Hal itu karena dapat mendatangkan bahaya, apabila sembarangan.


Dalam sebuah riwayat Imam Malik -rahimahullah- berkata, ”Aku telah  bertemu dengan segolongan kaum di negeri ini yang mana mereka sekiranya [B]meminta hujan[/B],  tentu akan diberi hujan, dan sungguh mereka telah mendengar hadits yang  banyak, tetapi aku tidak mengambil dari salah seorang di antara  mereka”. ([I]Tartiib al-Madarik wa Taqriib al-Masaalik[/I], karya al-Qadhi Iyadh bin Musa as-Sibti, I/137)


Beliau juga berkata, ”Aku pernah melihat Ayyub as-Sikhtiyani di Mekah  ketika melakukan dua kali haji, maka akupun tidak belajar dari beliau.  Pada kali yang ketiga aku melihat beliau duduk di halaman air zamzam.  Apabila disebut Nabi -shallallahu alaihi wa sallam- di sisinya beliau  menangis sampai aku mengasihani beliau. Setelah mengetahui hal itu,  akupun belajar dari beliau. ([I]Tartiib,[/I] I/139).


[B]2. [/B][B][I]Amanah Ilmiyyah[/I][/B][B] Imam al-Muzani tampak[/B] [B]dalam menyebutkan ayat hujan.[/B]


Imam al-Muzani mengatakan, “Bab Thaharah” Imam Syafi’i berkata, “Allah -azza wa jalla- berfirman:


[LARGE]وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا[/LARGE]


[I]Dia-lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira  dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya (hujan); dan Kami turunkan dari  langit air yang amat bersih[/I]. (QS. al-Furqan: 48)”. ([I]Mukhtashar al-Muzani,[/I] hlm. 1)



Imam as-Suyuti mengatakan dalam kitabnya yang sangat berharga sekali:


“Beliau (yaitu Imam al-Muzani) telah berkata dalam awal kitab [I]Mukhtashar[/I]nya  -yang mana semoga Allah hiasi dengan keagungan dan cahaya karena  keikhlasannya dan semoga menambah ketinggiannya dan kemasyhurannya di  semua ufuk–  “Kitab Thaharah” Imam Syafi’i berkata , “Allah [I]ta’ala[/I] telah berfirman:


[LARGE]وَهُوَ الَّذِي أَرْسَلَ الرِّيَاحَ بُشْرًا بَيْنَ يَدَيْ رَحْمَتِهِ وَأَنْزَلْنَا مِنَ السَّمَاءِ مَاءً طَهُورًا[/LARGE]


[I]Dia lah yang meniupkan angin (sebagai) pembawa kabar gembira dekat sebelum kedatangan rahmat-Nya [B](hujan);[/B] dan Kami turunkan dari langit air yang Amat bersih[/I]. (QS. al-Furqan: 48)”.


Bukankah Imam al-Muzani melihat ayat ini terdapat dalam mushaf, lalu  ia dapat menukilnya tanpa harus menyandarkannya kepada Imamnya?


Para Ulama menjelaskan, “Sesunggunya beliau melakukan hal itu hanyalah karena [I]iftitah[/I] (pembukaan) dengan ungkapan itu berasal dari idenya Imam Syafi’i, bukan dari beliau sendiri”. ([I]Al-Faariq bainal Mushannif was Saariq[/I], as-Suyuti, hal. 745 dalam [I]nuskhah[/I] yang telah di[I]tahqiq[/I] dan dimuat [I]tahqiq[/I]nya dalam Majalah[I] ‘Alamul Kutub[/I], Riyadh, edisi keempat, Jilid II, hal. 745, bulan Rabi’uts Tsani 1402/Januari-Februari 1982M)


Berkaitan dengan Mukhtashar ini, Imam al-Muzani mengatakan, “Dahulu  aku menulis kitab ini selama dua puluh tahun, aku tulis tiga kali dan  aku rubah. Setiap kali aku ingin menulisnya aku berpuasa selama tiga  hari dan melakukan shalat sekian-sekian rakaat”. ([I]Manaaqibisy Syafi’i[/I], karya al-Baihaqi II/349)[B] [/B]


[B]3. [/B][B]Wajibnya Shalat Jama’ah tampak dalam[/B] [B]Syariat Menjama’ saat Hujan.[/B]


Ibnul Qayyim -rahimahullah- mengatakan:


“Tentang wajibnya shalat jama’ah, dapat berdalil dengan adanya jama’  antara dua shalat yang disyariatkan ketika terjadi hujan agar dapat  dilakukan secara berjama’ah. Padahal salah satu di antara shalat  tersebut telah berada di luar waktunya, sedangkan (melakukan  masing-masing shalat pada) waktu (yang telah ditetapkan) adalah wajib.


Sekiranya berjama’ah itu tidak wajib, maka waktu yang wajib (untuk  dilakukan shalat di dalamnya) ini tidak ditinggalkan untuk melakukan  jama’ ini”. ([I]Badai’ al-Fawaid[/I], hlm. 1098 tahqiq al-Imran, [I]al-Jam’ Baina Shalatain,[/I] karya Syaikh Masyhur Hasan Salman, hlm. 167)


[B]4. [/B][B]Langit Tidak Menurunkan hujan Emas.[/B]


Dalam rangka menganjurkan untuk bekerja mencari rizki, Umar bin Khaththab -radhiallohu anhu- mengatakan:


[LARGE]لاَ يَقْعُدْ أَحَدُكُمْ عَنْ طَلَبِ  الرِّزْقِ، يَقُوْلُ : اللَّهُمَّ ارْزُقْنِيْ، فَقَدْ عَلِمْتُمْ أَنَ  السَّمَاءَ لاَ تُمْطِرُ ذَهَبًا وَلاَ فِضَةً[/LARGE]


Janganlah salah seorang di antara kalian enggan untuk mencari rizki,  seraya mengatakan, “Ya Allah, berilah aku rizki”, padahal kalian telah  mengetahui bahwa langit itu tidak menurunkan hujan yang berupa emas dan  tidak pula perak. ([I]Ihya’ Ulum ad-Diin[/I], II/62, Dar al-Ma’rifah, Bairut, tt).[I] [/I]


Oleh karena itu, tidak heran apabila Sufyan ats-Tsauri menanyakan  tentang keadaan orang yang akan belajar kepada beliau sebagaimana dalam  riwayat berikut:


Abdurrahim bin Sulaiman ar-Razi berkata, “Kami pernah berada disisi  Sufyan ats-Tsauri. Apabila ada orang yang mendatanginya untuk menuntut  ilmu dari beliau, beliau bertanya, ‘Apakah engkau memiliki sumber  penghidupan?’ Apabila ia memberitahunya bahwa dia dalam kecukupan,  beliau memerintahkannya untuk menuntut ilmu, dan apabila dia tidak dalam  kecukupan, maka dia diperintahkan agar mencari penghidupan”. ([I]Al-Jami’ Li Akhlaq ar-Rawi[/I], al-Khathib al-Baghdadi, I/144, no. 50)


[B]5. [/B][B]Ummat Rasulullah [/B][B]n[/B][B][I] [/I][/B][B]dimisalkan dengan hujan.[/B]


Rasulullah -shallallahu alaihi wa sallam- bersabda:


[LARGE]مَثَلُ أُمَتِيْ مِثْلُ الْمَطَرِ لاَ يُدْرَى أَوَلُهُ خَيْرٌ أَمْ آخِرُهُ[/LARGE]


[I]Perumpamaan umatku adalah seperti hujan, tidak diketahui apakah yang pertama yang lebih baik ataukah yang akhirnya.Shahih al-Jami’,[/I] no. 5854, Syaikh al-Albani berkata : Shahih)


Al-Baidhawi berkata, “Yang dimaksud adalah mengingkari perbedaan,  karena setiap tingkatan di antara mereka memiliki keistimewaan yang  pasti mengandung sisi kelebihbaikannya, sebagaimana setiap naubah dari  naubnya hujan, memiliki faedah dalam menumbuhkan, tidak mungkin dapat   diingkari dan dihukumi tidak bermanfaatnya. Hal itu karena generasi  pertama-tama telah beriman dengan apa yang mereka saksikan yang berupa  mu’jizat, menerima dakwah Rasul dan beriman. Sedangkan orang-orang yang  akhir, mereka beriman kepada perkara ghaib, karena telah sampai kepada  mereka secara mutawatir, yaitu ayat-ayat, mereka mengikuti generasi yang  sebelumnya dengan baik…”. ([I]Faidh al-Qadir[/I], jilid 5, hlm. 517)


Sedangkan Imam Nawawi mengatakan, “Sekiranya shahih (hal itu karena  beliau mendha’ifkannya-pen), tentu maknanya adalah bahwa ini terjadi  setelah turunnya Isa p ketika barakah telah nampak dan kebaikan menjadi  banyak, dan agama menjadi tampak… sekiranya shahih tentu tidak  menyelisihi hadits-hadits yang shahih seperti hadits, ‘Sebaik-baik  generasi adalah generasiku, kemudian (generasi) yang datang berikutnya’,  dan hadits, ‘Tidaklah ada suatu tahun, melainkan tahun yang berikutnya  adalah lebih buruk dari sebelumnya’.” ([I]Al-Mantsurat wa ‘Uyun al-Masail al-Muhimmat[/I], hlm. 287-288, Darul Kutub Islamiyyah, mesir, tahqiq Abdul Qadir Ahmad ‘Atha, cet. 1, 1402 H/1982 M)


[LARGE]Perbanyak Berdzikir Ketika Hujan dan Mendengar Petir[/LARGE]


Islam adalah aga[B][/B]ma  yang penuh dengan adab-adab yang mulia. Dengan mengamalkannya, seorang  muslim akan mendapatkan karunia yang amat besar, diantaranya yaitu [I]ittiba’[/I] (mengikuti) sunnah Rasulullah  -shallallahu alaihi wa sallam-.[B][/B][I] [/I]


Pada saat-saat ini, Allah -subhanahu wa ta’ala- banyak menurunkan  hujan di daerah kita. Oleh karena itu, sudah sepantasnya bagi kita  bersama mengingat beberapa dzikir dan doa yang berkaitan dengan hujan.  Di antaranya yaitu:


[B]1. [/B][B]Berdoa ketika melihat hujan[/B]


Apabila kita melihat hujan sedang turun, maka disyariatkan untuk membaca doa:


[LARGE]اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا[/LARGE]


[I]Ya Allah, (jadikanla[/I][B][/B][I]h) hujan ini adalah hujan yang bermanfaat.[/I]


Dalilnya adalah


[LARGE]عَنْ عَائِشَةَ – رَضِيَ اللهُ عَنْهَا –  قَالَتْ : كَانَ رَسُوْلُ اللهِ  – صلى الله عليه وسلم -  إِذَا رَأَى  نَاشِئًا فِيْ أُفُقٍ مِنْ آفَاقِ السََّمَاءِ، تَرَكَ عَمَلَهُ – وَإِنْ  كَانَ فِيْ صَلاَتِهِ – ثُمَ أَقْبَلَ عَلَيْهِ، فَإِنْ كَشَفَهُ اللهُ  حَمِدَ اللهُ، وَإِنْ مَطَرَتْ قَالَ : [B]اَللَّهُمَّ صَيِّبًا نَافِعًا[/B][/LARGE]


Dari Aisyah -radhiallahu anha- ia berkata, “Dahulu Rasulullah   -shallallahu alaihi wa sallam- apabila melihat mendung di ufuk langit,  maka b[B][/B]eliau meninggalkan aktivitasnya, meskipun dalam  keadaan shalat, kemudian menghadap kepadanya. Apabila Allah  menyingkapnya, maka beliau memuji-Nya dan apabila turun hujan, beliau  berdoa, [I]‘Ya Allah jadikanlah hujan ini adalah hujan yang bermanfaat’[/I].” (HR. al-Bukhari dalam [I]al-Adab al-Mufrad,[/I] no. 530/686, Ibnu Majah, no. 3889. Lafal ini dalam [I]al-Adab al-Mufrad.[/I] Syaikh al-Albani dalam [I]Shahih Adab Mufrad[/I] berkata: Shahih). Lihat pula [I]Misykat al-Mashabih[/I], no. 1520, [I]ash-Shahihah[/I], no.2757)


[B]2. [/B][B]Berdoa apabila air hujan turun dengan sangat banyak[/B]


Apabila air hujan yang turun terlihat banyak dan dikhawatirkan akan  merusak apa yang dikenainya, maka disunnahkan untuk membaca doa :


[LARGE][B]اللَّهُمَّ حَوَالَيْنَا وَلاَ عَلَيْنَا، اللَّهُمَّ عَلَى الآكَامِ وَالظِّرَابِ وَبُطُوْنِ اْلأَوْدِيَةِ وَمَنَابِتِ الشَّجَ[/B][B]رِ[/B][/LARGE]


[I]Ya Allah, jadikanlah hujan ini untuk sekeliling kami dan tidak  membahayakan kami. Ya Allah, jadikanlah air hujan ini merata menuju  perbukitan, lembah-lembah dan tempat-tempat tumbuhnya pepohonan.[/I][I] [/I](HR. al-Bukhari, 933, dan Muslim, no. 897)


[B]3. [/B][B]Berdoa setelah turun hujan[/B]


Apabila kita mendapatkan bahwa hujan telah reda, maka disunnahkan untuk membaca doa :


[LARGE][B]مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِ[/B][B]هِ[/B][/LARGE]


[I]Kita diberi hujan dengan karunia Allah dan rahmat-Nya.[/I]


Hal itu berdasarkan hadits Zaid bin Khalid al-Juhani:


[LARGE]فَأَمَّا مَنْ قَالَ : مُطِرْنَا بِفَضْلِ اللهِ وَرَحْمَتِهِ، فَذَلِكَ مُؤْمِنٌ بِيْ كَافِرٌ بِالْكَوْكَبِ[/LARGE]


[I]Adapun barangsiapa yang mengatakan, “Kami diberi hujan dengan  karunia Allah dan rahmat-Nya”, maka dia adalah orang yang mukmin  kepadaku dan kafir terhadap bintang.[/I] (HR. al-Bukhari, no. 846, 1038, 4147, 7503 dan Muslim, no. 71)


[B]4. [/B][B]Ketika Terdengar Petir. [/B]


Ketika kita mendengar petir, maka disunnahkan berdoa dengan doa berikut :


[LARGE]سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ مِنْ خِيْفَتِهِ[/LARGE]


[I]Maha Suci Dzat yang mana petir itu bertasbih dengan memuji-Nya dan para malaikat karena takut kepada-Nya. [/I]


Dalilnya adalah sebuah atsar [I]mauquf[/I] dari Abdullah bin az-Zubair:


[LARGE]عَنْ عَبْدِ اللهِ بْنِ الزُّبَيْرِ  أَنَّهُ كاَنَ إِذَا سَمِعَ الرَّعْدَ تَرَكَ الْحَدِيْثَ، وَقَالَ :  ((سُبْحَانَ الَّذِيْ يُسَبِّحُ الرَّعْدُ بِحَمْدِهِ وَالْمَلاَئِكَةُ  مِنْ خِيْفَتِهِ))، ثُمَ يَقُوْلُ : إِنَّ هَذَا لَوَعِيْدٌ شَدِيْدٌ  لأَهْلِ اْلأَرْضِ[/LARGE]


Dari Abdullah bin Zubair, bahwasanya dahulu apabila beliau mendengar petir, beliau menghentikan pembicaraan dan mengatakan, “[I]Maha Suci Dzat yang mana petir itu bertasbih dengan memuji-Nya dan para malaikat karena takut kepada-Nya”.[/I] Kemudian mengatakan, [I]“Ini adalah ancaman yang dahsyat untuk penduduk bumi”.[/I] (Dikeluarkan oleh Imam Bukhari dalam [I]al-Adab al-Mufrad[/I], no 723 dan dishahihkan oleh Syaikh al-Albani dalam [I]Shahih al-Adab al-Mufrad[/I], no. 556)


Demikianlah diantara cara kita agar termasuk orang-orang yang selalu  membasahi lisan kita dengan dzikrullah sebagaimana diisyaratkan oleh  al-Hafidz Ibn Rajab -rahimahullah-. ([I]Jami’ al-Ulum wa al-Hikam[/I], jilid 2, hlm. 529, tahqiq Syu’aib al-Arna`uth)


Semoga kita termasuk orang-orang yang mendapat ketenangan hati dengan berdzikir.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan