Sahabat Seiman :)

Isnin, 21 Februari 2011

Jihad Dalam Islam, Pemahaman dan Tafsir Al-Quran tentang Jihad.

Jihad Dalam Islam, Pemahaman dan Tafsir Al-Quran tentang Jihad
Kebajikan dan keburukan sama-sama bersanding dalam jiwa setiap manusia.
Allah mengilhamkan kepada jiwa manusia (jalan) kefasikan/kedurhakaan dan ketakwaannya. Sesungguhnya beruntunglah orang yang mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya. (QS. Asy-Syams (91):ayat 8,9,10)
Begitu firman Allah dalam surat Asy-Syams ayat 8,9,10, yang artinya diri manusia memiliki potensi kebaikan dan keburukan.
Seperti itu jugalah sifat masyarakat dan negara yang terdiri dari banyak individu. Keburukan mendorong pada kesewenang-wenangan, sedangkan kebajikan mengantarkan pada keharmonisan. Saat terjadi kesewenang-wenangan, kebajikan berseru dan merintih untuk mencegahnya. Dari sanalah perjuangan, baik di tingkat individu maupun di tingkat masyarakat dan negara. Demikian itulah ketetapan ilahi.
Kami tidak menciptakan langit dan bumi, dan segala yang ada di antara keduanya dengan bermain-main. Sekiranya hendak membuat suatu permainan, tentulah Kami membuatnya dari sisi Kami. Jika Kami menghendaki berbuat demikian (tentulah Kami telah melakukannya). Sebenarnya Kami melontarkan yang hak kepada yang batil, lalu yang hak itu menghancurkannya, maka dengan serta merta yang batil itu lenyap. Dan kecelakaan bagi kamu menyifati (Allah dengan sifat yang tidak layak). (QS Al-Anbiya’ [21]: 16-18)
Islam datang membawa nilai-nilai kebaikan dan menganjurkan manusia agar menghiasi diri dengannya, serta memerintahkan manusia agar memperjuangkannya hingga mengalahkan kebatilan. Atau seperti bunyi ayat di atas, melontarkan yang hak kepada yang batil hingga mampu menghancurkannya. Tapi hal itu tak dapat terlaksana dengan sendirinya, kecuali melalui perjuangan.
Istilah Al-Quran untuk menunjukkan perjuangan adalah kata jihad. Sayangnya, istilah ini sering disalahpahami atau dipersempit artinya.
MAKNA JIHAD
Kata jihad terulang dalam Al-Quran sebanyak empat puluh satu kali dengan berbagai bentuknya. Menurut ibnu Faris (w. 395 H) dalam bukunya Mu’jam Al-Maqayis fi Al-Lughah, “Semua kata yang terdiri dari huruf j-h-d, pada awalnya mengandung arti kesulitan atau kesukaran dan yang mirip dengannya.”
Kata jihad terambil dari kata jahd yang berarti “letih/sukar.” Jihad memang sulit dan menyebabkan keletihan. Ada juga yang berpendapat bahwa jihad berasal dari akar kata “juhd” yang berarti “kemampuan”. Ini karena jihad menuntut kemampuan, dan harus dilakukan sebesar kemampuan. Dari kata yang sama tersusun ucapan “jahida bir-rajul” yang artinya “seseorang sedang mengalami ujian”. Terlihat bahwa kata jihad mengandung makna ujian dan cobaan, hal yang wajar karena jihad memang merupakan ujian dan cobaan bagi kualitas seseorang.
Makna-makna kebahasaan dan maksudnya di atas dapat dikonfirmasikan dengan beberapa ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad. Firman Allah berikut ini menunjukkan betapa jihad merupakan ujian dan cobaan:
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum nyata bagi Allah orang yang berjihad di antara kamu dan (belum nyata) orang-orang yang sabar (QS Ali ‘Imran [3]: 142).
Demikian terlihat, bahwa jihad merupakan cara yang ditetapkan Allah untuk menguji manusia. Tampak pula kaitan yang sangat erat dengan kesabaran sebagai isyarat bahwa jihad adalah sesuatu yang sulit, memerlukan kesabaran serta ketabahan. Kesulitan ujian atau cobaan yang menuntut kesabaran itu dijelaskan rinciannya antara lain dalam surat Al-Baqarah ayat 214:
Apakah kamu menduga akan dapat masuk surga padahal belum datang kepadamu cobaan sebagaimana halnya (yang dialami) oleh orang-orang terdahulu sebelum kamu? Mereka ditimpa malapetaka dan kesengsaraan, serta diguncang aneka cobaan sehingga berkata Rasul dan orang-orang yang beriman bersamanya. “Bilakah datangnya pertolongan Allah?” ingatlah pertolongan Allah amat dekat (QS Al-Baqarah [2]: 214).
Dan sungguh pasti kami akan memberi cobaan kepada kamu dengan sedikit ketakutan, kelaparan, kekurangan harta, jiwa, dan buah-buahan. Dan berikanlah berita gembira kepada orang-orang yang bersabar (QS Al-Baqarah [2]: 155).
Jihad juga mengandung arti “kemampuan memberi”. Karena itu jihad adalah pengorbanan, dan dengan demikian sang mujahid tidak menuntut atau mengambil tetapi memberi semua yang dimilikinya. Ketika memberi, dia tidak berhenti sebelum tujuannya tercapai atau yang dimilikinya habis.
Orang-orang munafik mencela orang-orang Mukmin yang memberi sedekah dengan sukarela dan mencela juga orang-orang yang tidak memiliki sesuatu untuk disumbangkan (kecuali sedikit) sebesar kemampuan mereka. Orang-orang munafik menghina mereka. Allah akan membalas penghinaan mereka, dan bagi mereka siksa yang pedih (QS Al-Tawbah [9]: 79).
Jihad merupakan aktivitas yang unik, menyeluruh, dan tidak dapat dipersamakan dengan aktivitas lain –sekalipun aktivitas keagamaan. Tidak ada satu amalan keagamaan yang tidak disertai dengan jihad. Paling tidak, jihad diperlukan untuk menghambat rayuan nafsu yang selalu mengajak pada kedurhakaan dan pengabaian tuntunan agama.
Seorang Mukmin pastilah mujahid, dan tidak perlu menunggu izin atau restu untuk melakukannya. Dan jihad merupakan perwujudan identitas kepribadian Muslim. Al-Quran menegaskan,
Barang siapa yang berjihad, maka sesungguhnya jihadnya untuk dirinya sendiri (berakibat kemaslahatan baginya) (QS Al-Ankabut [29]: 6).
Karena jihad adalah perwujudan kepribadian, maka tidak dibenarkan adanya jihad yang bertentangan dengan fitrah kemanusiaan. Bahkan bila jihad dipergunakan untuk memaksa berbuat kebatilan, harus ditolak sekalipun diperintahkan oleh kedua orangtua.
Apabila keduanya (ibu bapak) berjihad (bersungguh-sungguh hingga letih memaksamu) untuk mempersekutukan Aku dengan sesuatu, yang tidak ada bagimu pengetahuan tentang itu (apalagi jika kamu telah mengetahui bahwa Allah tidak boleh dipersekutukan dengan sesuatu pun), jangan taati mereka, namun pergauli keduanya di dunia dengan baik … (QS Luqman [31]. 15).
Mereka yang berjihad pasti akan diberi petunjuk dan jalan untuk mencapai cita-citanya.
Orang-orang yang berjihad di jalan kami, pasti akan Kami tunjukkan pada mereka jalan-jalan Kami (QS Al-Ankabut [29]: 69).
Terakhir dan yang terpenting dari segalanya adalah bahwa jihad harus dilakukan demi Allah, bukan untuk memperoleh tanda jasa, pujian, apalagi keuntungan duniawi. Berulang-ulang Al-Quran menegaskan redaksi fi sabilihi (di jalan-Nya). Bahkan Al-Quran surat Al-Hajj ayat 78 memerintahkan:
Dan berjihadlah kamu pada jalan Allah dengan jihad yang sebenar-benarnya. Dia telah memilih kamu dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan. (Ikutilah) agama orang tuamu Ibrahim. Dia (Allah) telah menamai kamu sekalian orang-orang muslim dari dahulu, dan (begitu pula) dalam (Al Qur’an) ini, supaya Rasul itu menjadi saksi atas dirimu dan supaya kamu semua menjadi saksi atas segenap manusia, maka dirikanlah shalat, tunaikanlah zakat dan berpeganglah kamu pada tali Allah. Dia adalah Pelindungmu, maka Dialah sebaik-baik Pelindung dan sebaik-baik Penolong. (QS. Al-Hajj ayat 78)
Kesimpulannya, jihad adalah cara-cara positif untuk mencapai tujuan yaitu melaksanakan dan mengamalkan perintah Allah SWT serta menjauhi larangan-Nya. Jihad tidak mengenal putus asa, menyerah, kelesuan, tidak pula pamrih. Tetapi jihad tidak dapat dilaksanakan tanpa modal, karena itu jihad mesti disesuaikan dengan modal yang dimiliki.
Karena jihad harus dilakukan dengan modal, maka mujahid tidak mengambil, tetapi memberi. Bukan mujahid yang menanti imbalan selain dari Allah, karena jihad diperintahkan semata-mata demi Allah. Jihad menjadi titik tolak seluruh upaya berbuat kebaikan dan beramal; karenanya jihad adalah puncak segala aktivitas amal dan kebaikan.
MACAM-MACAM JIHAD
Seperti telah dikemukakan, terjadi kesalahpahaman dalam memahami istilah jihad. Jihad biasanya hanya dipahami dalam arti perjuangan fisik atau perlawanan bersenjata. Ini mungkin terjadi karena sering kata itu baru terucapkan pada saat-saat perjuangan fisik. Memang diakui bahwa salah satu bentuk jihad terkecil adalah perjuangan fisik/perang, tetapi harus diingat bahwa banyak jihad yang lebih besar yaitu melakukan berbagai amal dengan harta yang dimilikinya, dan jihad yang terbesar adalah melawan hawa nafsu (mengendalikan hawa nafsu); sebagaimana sabda Rasulullah saw ketika beliau baru saja kembali dari medan pertempuran.
Kita kembali dari jihad terkecil menuju jihad terbesar, yakni jihad melawan hawa nafsu.
Kesalahpahaman pengertian dan makna jihad, disuburkan juga oleh terjemahan yang kurang tepat terhadap ayat-ayat Al-Quran yang berbicara tentang jihad dengan anfus dan harta benda. Kata anfus sering diterjemahkan sebagai jiwa Terjemahan Departemen Agama RI pun demikian. Memang, kata anfus dalam Al-Quran memiliki banyak arti. Ada yang diartikan sebagai nyawa, di waktu lain sebagai hati, yang ketiga bermakna jenis, dan ada pula yang berarti “totalitas manusia” tempat terpadu jiwa dan raganya, serta segala sesuatu yang tidak dapat terpisah darinya.
Al-Quran mempersonifikasikan wujud seseorang di hadapan Allah dan masyarakat dengan menggunakan kata nafs. Jadi tidak salah jika kata itu dalam konteks jihad dipahami sebagai totalitas manusia, sehingga kata nafs mencakup nyawa, emosi, pengetahuan, tenaga, pikiran, bahkan waktu dan tempat yang berkaitan dengannya, karena manusia tidak dapat memisahkan diri dari kedua hal itu. Pengertian ini, diperkuat dengan adanya perintah dalam Al-Quran untuk berjihad tanpa menyebutkan nafs atau harta benda (antara lain QS Al-Hajj: 78).
Rasulullah saw bersabda, “Jahiduw ahwa akum kama tujahiduna ‘ada akum” (Berjihadlah menghadapi nafsumu sebagaimana engkau berjihad menghadapi musuhmu).
Dalam banyak ayat di Al-Quran disebutkan musuh-musuh yang dapat menjerumuskan manusia kedalam kejahatan, yaitu setan dan nafsu manusia sendiri. Keduanya harus dihadapi dengan perjuangan.
Janganlah kamu mengikuti langkah-langkah setan, karena sesungguhnya dia merupakan musuh yang nyata bagimu (QS Al-Baqarah [2]: 168).
Hawa nafsu pun diperingatkan agar tidak diikuti sekehendak hati.
Siapa lagi yang lebih sesat daripada yang mengikuti hawa nafsunya, tanpa petunjuk dan Allah? (QS Al-Qashash [28]: 50).
Nabi Yusuf diabadikan Al-Quran ucapannya: Aku tidak membebaskan diriku (dari kesalahan) karena sesungguhnya (hawa) nafsu selalu mendorong kepada kejahatan kecuali yang diberi rahmat oleh Tuhanku (QS Yusuf [12]: 53)
Dapat dikatakan bahwa sumber dari segala kejahatan adalah setan yang sering memanfaatkan kelemahan nafsu manusia. Ketika manusia tergoda oleh setan, ia menjadi jahat, munafik, dan menderita penyakit-penyakit hati.
BERJIHAD MENGHADAPI MUSUH (SETAN DAN NAFSU)
Seperti dikemukakan di muka, sumber segala kejahatan adalah setan yang sering menggunakan kelemahan nafsu manusia. Setan adalah nama yang paling populer di antara nama-nama si perayu kejahatan. Begitu populernya sehingga menyebut namanya saja, terbayanglah, kejahatan itu. Nama setan dikenal dalam ketiga agama samawi: Yahudi, Nasrani, dan Islam. Konon kata setan berasal dari bahasa ibrani, yang berarti “lawan/musuh.” Tetapi, barangkali juga berasal dari bahasa Arab, syaththa yang berarti “tepi”, dan syatha yang berarti “hancur dan terbakar”, atau syathatha yang berarti “melampaui batas”.
Setan, karena jauh dari rahmat Allah, akan hancur dan terbakar di neraka. Setan selalu di tepi, memilih yang ekstrem dan melampaui batas. Bukankah seperti sabda Nabi saw, “Khair al-umur al-wasath” (Sebaik-baik sesuatu itu adalah yang moderat, yang di tengah). Serta banyak ayat dalam Al-Quran yang senantiasa mengingatkan untuk tidak melampaui batas.
Berdoalah kepada Tuhanmu dengan berendah diri dan suara yang lembut. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-A’raaf (Al-A’raf) [7] : ayat 55)
Hai orang-orang yang beriman, janganlah kamu haramkan apa-apa yang baik yang telah Allah halalkan bagi kamu, dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Allah tidak menyukai orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Maaidah (Al-Maidah) [5] : ayat 87)
Dan demikianlah Kami membalas orang yang melampaui batas dan tidak percaya kepada ayat-ayat Tuhannya. Dan sesungguhnya azab di akhirat itu lebih berat dan lebih kekal. (QS. Thaahaa (Thaha) [20] : ayat 127)
Sudah pasti bahwa apa yang kamu seru supaya aku (beriman) kepadanya tidak dapat memperkenankan seruan apapun baik di dunia maupun di akhirat. Dan sesungguhnya kita kembali kepada Allah dan sesungguhnya orang-orang yang melampaui batas, mereka itulah penghuni neraka. (QS. Al-Mu’min (Al-Mu’min) [40] : ayat 43)
Dan bahwasanya: orang yang kurang akal daripada kami selalu mengatakan (perkataan) yang melampaui batas terhadap Allah, (QS. Al-Jin (Al-Jinn) [72] : ayat 4)
Sesungguhnya dosa itu atas orang-orang yang berbuat zalim kepada manusia dan melampaui batas di muka bumi tanpa hak. Mereka itu mendapat azab yang pedih. (QS. Asy-Syuura (Asy-Syura) [42] : ayat 42)
Barangsiapa mencari yang di balik itu maka mereka itulah orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-Mu’minuun (Al-Mu’minun) [23] : ayat 7)
Maka tetaplah kamu pada jalan yang benar, sebagaimana diperintahkan kepadamu dan (juga) orang yang telah taubat beserta kamu dan janganlah kamu melampaui batas. Sesungguhnya Dia Maha Melihat apa yang kamu kerjakan. (QS. Huud (Hud) [11] : ayat 112)
Mengapa kamu tidak mau memakan (binatang-binatang yang halal) yang disebut nama Allah ketika menyembelihnya, padahal sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu, kecuali apa yang terpaksa kamu memakannya. Dan sesungguhnya kebanyakan (dari manusia) benar benar hendak menyesatkan (orang lain) dengan hawa nafsu mereka tanpa pengetahuan. Sesungguhnya Tuhanmu, Dia-lah yang lebih mengetahui orang-orang yang melampaui batas. (QS. Al-An’aam (Al-An’am) [6] : ayat 119)
Setan terjahat bernama iblis. Sebagian pakar Barat berpendapat bahwa kata iblis asalnya adalah dari bahasa Yunani Diabolos yang mengandung arti memasuki dua pihak untuk menghasut dan memecah belah. Diabolos adalah gabungan Dia yang berarti ketika, dan Ballein yang berarti melontar. Dari bahasa Arab, iblis diduga terambil dari akar kata ablasa yang berarti putus harapan, karena iblis telah putus harapannya masuk ke surga. Demikian tulis Abbas Al-Aqqad dalam bukunya, iblis.
Yang jelas Allah SWT tidak menciptakan setan secara sia-sia. Sejak manusia mengenalnya, sejak itu pula terbuka lebar pintu kebaikan bagi manusia, karena dengan mengenalnya, dan mengetahui sifat-sifatnya, manusia dapat membedakan yang baik dan yang buruk. Bahkan dapat mengenal substansi kebaikan. Kebaikan bukan sekadar sesuatu yang tidak jelek atau jahat, bukan pula sekadar lawan kejelekan atau kejahatan. Wujud kebaikan baru nyata pada saat kejahatan yang ada itu diabaikan, lalu dipilihlah yang baik. Itu sebabnya manusia melebihi malaikat, karena kejahatan tidak dimiliki malaikat, sehingga mereka tidak dapat tergoda. Manusia dapat menjadi setan pada saat ia enggan memilih yang baik lalu merayu yang lain untuk memilih kejahatan.
Ketika iblis (setan) dikutuk Allah, ia bersumpah di hadapan-Nya: “Karena Engkau telah menghukum saya tersesat, maka saya benar-benar akan (menghalang-halangi) mereka dari jalan-Mu yang lurus. Kemudian saya akan mendatangi (merayu) mereka dari muka dan dan belakang, dan kanan dan kiri mereka, dan Engkau tidak akan mendapati kebanyakan mereka bersyukur (taat)” (QS Al-A’raf [7]: 16-17).
Ayat ini mengisyaratkan bahwa setan akan menghadang dan merayu manusia dari empat penjuru: depan, belakang, kanan dan kiri, sehingga tinggal dua penjuru yang aman, yaitu arah atas lambang kehadiran Allah SWT, dan arah bawah lambang kesadaran manusia akan kelemahannya di hadapan Allah SWT. Manusia harus berlindung kepada Allah, sekaligus menyadari kelemahannya sebagai makhluk, agar dapat selamat dari godaan dan rayuan setan.
Ulama-ulama menggambarkan godaan setan seperti serangan virus, yaitu seseorang tidak akan terjangkiti olehnya selama memiliki kekebalan tubuh. Imunisasi menjadi cara terbaik untuk memelihara diri dari penyakit jasmani. Kekebalan jiwa diperoleh saat berada di arah “atas” maupun “bawah”. Ini menjadi dasar Al-Quran memerintahkan manusia untuk berta’awwudz memohon perlindungan-Nya saat terasa ada godaan, sebagaimana dalam berjihad seorang Muslim dianjurkan banyak berzikir..
Al-Quran surat terakhir menggambarkan setan sebagai al-waswas al-khannas. Kata al-waswas pada mulanya berarti suara yang sangat halus, lantas makna ini berkembang hingga diartikan bisikan-bisikan hati. Biasanya dipergunakan untuk bisikan-bisikan negatif, karena itu sebagian ulama tafsir memahami kata ini sebagai setan. Menurut mereka setan sering membisikkan rayuan dan jebakannya ke dalam hati seseorang
Kata al-khannas terambil dari kata khanasa yang berarti kembali, mundur, melempem, dan bersembunyi. Dalam surat An-Nas, kata tersebut dapat berarti:
(a) Setan kembali menggoda manusia pada saat manusia lengah dan melupakan Allah, atau
(b) Setan mundur dan tidak berdaya pada saat manusia berzikir dan mengingat Allah.
Pendapat kedua ini didukung hadis yang diriwayatkan oleh Bukhari –walaupun dalam bentuk mu’allaq berasal dari ibnu Abbas– yang berkata bahwa Nabi saw bersabda: “Sesungguhnya setan itu bercokol di hati putra Adam. Apabila berzikir, setan itu mundur menjauh, dan bila ia lengah, setan berbisik”.
Di atas telah dikemukakan bahwa setan, baik dari jenis jin dan manusia selalu berupaya untuk membisikkan rayuan dan ajakan negatif, yang dalam surat An-Nas disebut yuwaswisu fi shudurin-nas. Dalam konteks ini, Al-Quran mengingatkan:
Dan jika kamu ditimpa godaan setan, berlindunglah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui. Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa, bila mereka ditimpa waswas setan, mereka ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat (menyadari) kesalahan-kesalahannya. (QS Al-A’raf [7]: 200-201)
Tidak mudah membedakan antara rayuan setan dan nafsu manusia. Ulama-ulama, khususnya para sufi, menekankan bahwa pada hakikatnya manusia tidak mengetahui gejolak nafsu dan bisikan hati, kecuali bila dapat melepaskan diri dari pengaruh gejolak tersebut. Al-Tustari seorang sufi agung menyatakan: “Tidak mengetahui bisikan syirik kecuali orang Muslim, tidak mengetahui bisikan kemunafikan kecuali orang Mukmin, demikian juga bisikan kebodohan kecuali yang berpengetahuan, bisikan kelengahan kecuali yang ingat, bisikan kedurhakaan kecuali yang taat, dan bisikan dunia kecuali dengan amalan akhirat”.
Bisikan-bisikan tersebut dapat ditolak dengan jihad, yang dilakukan dengan menutup pintu-pintu masuknya, atau dengan mematahkan semua kekuatan kejahatannya. Banyak pintu masuk bisikan negatif ke dalam dada manusia, antara lain:
1. Prasangka buruk terhadap Allah SWT dan ambisi yang menggunakan cara-cara negatif untuk mencapainya.
Ini melahirkan budaya mumpung serta kekikiran. Pintu masuk tersebut dapat ditutupi dengan keyakinan terhadap kemurahan Ilahi (Allah), serta rasa puas (bersyukur dan ikhlas) terhadap hasil usaha maksimal yang halal.
2. Kikir.
Pintu ini dapat tertutup dengan menyadari bahwa harta yang kita miliki sebenarnya titipan (amanah) Allah SWT. Bila kita kikir (tidak mengamalkannya) maka Allah SWT otomatis “tidak percaya” kepada kita, sehingga harta tersebut akan diambil kembali oleh-Nya. Sebaliknya bila kita dermawan maka Allah SWT otomatis “semakin percaya” kepada kita, sehingga menambah jumlah titipan (harta) tersebut kepada kita, dan semakin ditambah lagi jika kita mampu mengamalkannya.
3. Memperkecil dosa atau kebaikan.
Sehingga mengantarkan yang bersangkutan melakukan dosa dengan alasan dosa kecil, atau enggan berbuat baik dengan alasan malu karena amat sederhana. Ini mesti ditampik dengan menyadari terhadap siapa dosa dilakukan, yakni terhadap Allah. Juga kesadaran bahwa Allah tidak menilai bentuk perbuatan semata-mata, tetapi pada dasarnya menilai niat dan sikap pelaku.
4. Sombong karena merasa lebih dari orang lain.
Pintu masuk ini dapat dikunci dengan kesadaran bahwa kelebihan yang kita miliki itu hanya titipan (amanah) Allah kepada kita dan sewaktu-waktu dapat diambil-Nya kembali. Selain itu juga kesadaran bahwa kondisi dan situasinya bisa berbalik 180 derajat, dalam arti misalkan saat ini kita lebih dibanding orang lain, maka suatu saat bisa berbalik, orang lain tersebut yang akan melebihi kita. Tentu saja bila kita senantiasa rendah hati dan mengamalkan kelebihan tersebut, maka kelebihan tadi akan semakin bertambah.
5. Melaksanakan ibadah (amal) bukan karena Allah SWT, tetapi karena Riya’ (ingin dipuji).
Hal ini dapat dihindari dengan berusaha selalu ingat kepada Allah setiap melakukan ibadah (amal) atau aktifitas sehari-hari, sekaligus berusaha ikhlas dan bersyukur kepada Allah SWT. Dan menyadari bahwa Allah tidak menerima ibadah (amal) seseorang yang dilakukan bukan karena Allah SWT.
Sufi besar Al-Muhasibi menjelaskan bahwa setan amat pandai menyesuaikan bisikannya dengan kondisi manusia yang dirayunya. Orang-orang durhaka digodanya dengan mendorong yang bersangkutan meninggalkan ketaatan kepada Allah dan dibisikan kepadanya bahwa perbuatannya (yang buruk) adalah baik/indah. Upaya setan itu biasanya langsung mendapat sambutan mangsanya.
Adapun terhadap orang yang taat kepada Allah, bisikan setan dilakukan dengan cara mendorong agar meninggalkan amalan-amalan dengan berbagai dalih, misalnya, jangan terlalu banyak memberi sedekah karena boros; atau sudah cukup banyak memberi dan jangan ditambah lagi; bahkan menimbulkan pikiran-pikiran yang dapat mengurangi nilai amal ibadah. Hal-hal tersebut dapat dicegah dengan selalu mengingat Allah (dzikir), melaksanakan tuntunan-tuntunannya, serta menyadari kelemahan, dan kebutuhan manusia kepada-Nya.
Di sisi lain perlu diingat bahwa kemiskinan, kebodohan, dan penyakit merupakan senjata~senjata setan sekaligus menjadi iklim yang mengembangbiakkan virus-virus kejahatan.
Setan menjanjikan (menakut-nakuti) kamu dengan kemiskinan dan menyuruh kamu berbuat kejahatan, sedangkan Allah menjanjikan kamu ampunan dan karunia. Allah Mahaluas karunia-Nya lagi Maha Mengetahui (QS Al-Baqarah [2]: 268).
Kejahatan yang sering tidak disadari manusia adalah “kikir”.
Manusia dituntut berjihad melawan segala macam rayuan setan, menyiapkan iklim dan lokasi yang sehat untuk menghalangi tersebarnya wabah dan virus yang diakibatkan olehnya.

Tiada ulasan:

Catat Ulasan